Untuk
yang terkasih,
Hari ini
langit Jakarta cerah. Tapi tidak dengan suasana hatiku. Biar nanti aku
ceritakan kenapa karena sepertinya beberapa hari belakangan ini kita jarang
bertukar cerita.
Lama-lama
aku gak tahan juga sama keanehan sikap kamu yang kayak gini. Kadang maaf dan
memaafkan itu gak serta merta nyelesain masalah dan bikin kesalahan orang itu
terlupakan karena ternyata masih ada serpihan salah yang mengendap di sini: di
hati. Kadang aku bersyukur dikaruniai memori ingatan yang buruk sehingga bisa
saja dengan mudah ngelupain apa yang pernah orang perbuat ke aku. Tapi ternyata
ada beberapa memori dari otakku yang masih menyimpan baik kelalaian yang
diperbuat orang ke aku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara kerja memori ini
sampai bisa menyeleksi momen-momen apa saja yang patut disimpannya.
Mungkin karena momen itu adalah momen terbaik atau mungkin malah yang terburuk.
Entahlah.
Memori-memori
yang bila semakin aku berusaha membuangnya, ia malah semakin kuat memberontak
untuk tetap tinggal di pikiranku dan menyeruakkan banyak kenangan tentangmu dan
tetek bengeknya, bisa tentang betapa senang sekaligus kesalnya kamu karena
menghabiskan 600rb uang simpananmu karena ada bookfair, tentang betapa sebal
sekaligus bangganya kamu karena sahabatmu menang lomba ke Jerman dan terpilih
jadi putra terbaik di kotamu, tentang
sumpah serapahmu pada teman-temanmu yang memutar coldplay di pagi hari atau
kepada mereka yang 'membully'mu dengan menyebut2 Solo dengan segala macam
kenangan di dalamnya, tentang betapa konsistennya kamu menyimpan dendam untuk
mertua kakakmu dan (mantan) sahabatmu yang kamu sebut-sebut menikammu dari
belakang (atau menikung?), dan segelintir memori yang mungkin buatmu tidak
penting untuk disebutkan di sini. Jadi biarkan saja aku terus berkicau, untuk
bilang aku tidak mau menyimpan memori ini lebih lama lagi, untuk bilang aku gak
mau jadi manusia hipokrit yang berlagak mudah memaafkan orang lain padahal jauh
di dalam hatinya masih mengingat setiap detil momen dimana orang lain pernah
lalai menganggap aku ada atau membuatku kesal, untuk kemudian dimuntahkan suatu
hari, seperti saat ini. Simply, aku gak mau belajar jadi pendendam. Lagipula
(kecuali kamu seorang masokis) untuk apa kita bertahan jika kita merasa
saling tersakiti. Berulang
kali. Dalam hal lain, izinkan aku minta
maaf atas semua janji yang pernah terucap tapi tak juga genap. Tentang
janji membuatkanmu gambar untuk video klip kita, datang di hari wisudamu,
jalan-jalan ke Jogja bersamamu, nonton film bareng, dan sederet janji lainnya.
Seperti juga janji-janjimu untuk menelponku sepulang kantor, menyelesaikan
skripsimu Maret lalu, mengirimiku buku sebagai kado, menemaniku pergi misa,
Kubiarkan mereka semua menguap.
Aku kira,
kamu adalah lelaki yang cukup berani untuk menghadapi masalahnya sendiri. Tapi
kupikir aku salah karena kau lebih memilih untuk menghindarinya. Kamu pun
mengamininya. Dalam beberapa situasi, kamu memilih untuk diam, mengumpat, atau
menuliskannya di akun jejaringmu. Aku hanya mengingatkan, bahwa itu tidak akan
membuat persoalan yang kamu hadapi selesai. Tak apa jika hanya ingin meluapkan
kemarahanmu. Tapi setelah itu, hadapilah. Karena aku kira kamu sudah tergolong
dewasa, maka hadapilah dengan cara orang dewasa pula. Bicarakan, selesaikan.
Seperti yang sekarang kita alami. Apa yang lebih mengecewakan dari seorang
lelaki yang memilih untuk menghindar dari perempuannya ketika masalah
menghadang mereka? Dalam banyak hal, mungkin kamu sudah mau belajar mendengar
keluh kesahku, dan segala hal remeh temeh yang aku alami hampir setiap hari.
Tapi mungkin kamu lupa, bahwa sebenarnya setiap orang tidak cukup hanya
didengar, tapi juga didengarkan. Pun aku. Dan sepertinya aku pernah juga bilang
bahwa aku butuh seseorang yang bisa menjadi pendengar yang tidak hanya
mendengar tapi mendengarkan. Dan sepertinya kamu bukan. Tapi apapun itu,
terimakasih karena pernah mau menjadi pendengarku.
Dadidudedo eniwei.