Jumat, 11 Mei 2012

surat terbuka untuk kasihku

Untuk yang terkasih,

Hari ini langit Jakarta cerah. Tapi tidak dengan suasana hatiku. Biar nanti aku ceritakan kenapa karena sepertinya beberapa hari belakangan ini kita jarang bertukar cerita.

Lama-lama aku gak tahan juga sama keanehan sikap kamu yang kayak gini. Kadang maaf dan memaafkan itu gak serta merta nyelesain masalah dan bikin kesalahan orang itu terlupakan karena ternyata masih ada serpihan salah yang mengendap di sini: di hati. Kadang aku bersyukur dikaruniai memori ingatan yang buruk sehingga bisa saja dengan mudah ngelupain apa yang pernah orang perbuat ke aku. Tapi ternyata ada beberapa memori dari otakku yang masih menyimpan baik kelalaian yang diperbuat orang ke aku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara kerja memori ini sampai bisa menyeleksi momen-momen apa saja yang patut disimpannya. Mungkin karena momen itu adalah momen terbaik atau mungkin malah yang terburuk. Entahlah.

Memori-memori yang bila semakin aku berusaha membuangnya, ia malah semakin kuat memberontak untuk tetap tinggal di pikiranku dan menyeruakkan banyak kenangan tentangmu dan tetek bengeknya, bisa tentang betapa senang sekaligus kesalnya kamu karena menghabiskan 600rb uang simpananmu karena ada bookfair, tentang betapa sebal sekaligus bangganya kamu karena sahabatmu menang lomba ke Jerman dan terpilih jadi putra terbaik di kotamu, tentang sumpah serapahmu pada teman-temanmu yang memutar coldplay di pagi hari atau kepada mereka yang 'membully'mu dengan menyebut2 Solo dengan segala macam kenangan di dalamnya, tentang betapa konsistennya kamu menyimpan dendam untuk mertua kakakmu dan (mantan) sahabatmu yang kamu sebut-sebut menikammu dari belakang (atau menikung?), dan segelintir memori yang mungkin buatmu tidak penting untuk disebutkan di sini. Jadi biarkan saja aku terus berkicau, untuk bilang aku tidak mau menyimpan memori ini lebih lama lagi, untuk bilang aku gak mau jadi manusia hipokrit yang berlagak mudah memaafkan orang lain padahal jauh di dalam hatinya masih mengingat setiap detil momen dimana orang lain pernah lalai menganggap aku ada atau membuatku kesal, untuk kemudian dimuntahkan suatu hari, seperti saat ini. Simply, aku gak mau belajar jadi pendendam. Lagipula (kecuali kamu seorang masokis) untuk apa kita bertahan jika kita merasa saling tersakiti. Berulang kali. Dalam hal lain, izinkan aku minta maaf atas semua janji yang pernah terucap tapi tak juga genap. Tentang janji membuatkanmu gambar untuk video klip kita, datang di hari wisudamu, jalan-jalan ke Jogja bersamamu, nonton film bareng, dan sederet janji lainnya. Seperti juga janji-janjimu untuk menelponku sepulang kantor, menyelesaikan skripsimu Maret lalu, mengirimiku buku sebagai kado, menemaniku pergi misa, Kubiarkan mereka semua menguap.


Aku kira, kamu adalah lelaki yang cukup berani untuk menghadapi masalahnya sendiri. Tapi kupikir aku salah karena kau lebih memilih untuk menghindarinya. Kamu pun mengamininya. Dalam beberapa situasi, kamu memilih untuk diam, mengumpat, atau menuliskannya di akun jejaringmu. Aku hanya mengingatkan, bahwa itu tidak akan membuat persoalan yang kamu hadapi selesai. Tak apa jika hanya ingin meluapkan kemarahanmu. Tapi setelah itu, hadapilah. Karena aku kira kamu sudah tergolong dewasa, maka hadapilah dengan cara orang dewasa pula. Bicarakan, selesaikan. Seperti yang sekarang kita alami. Apa yang lebih mengecewakan dari seorang lelaki yang memilih untuk menghindar dari perempuannya ketika masalah menghadang mereka? Dalam banyak hal, mungkin kamu sudah mau belajar mendengar keluh kesahku, dan segala hal remeh temeh yang aku alami hampir setiap hari. Tapi mungkin kamu lupa, bahwa sebenarnya setiap orang tidak cukup hanya didengar, tapi juga didengarkan. Pun aku. Dan sepertinya aku pernah juga bilang bahwa aku butuh seseorang yang bisa menjadi pendengar yang tidak hanya mendengar tapi mendengarkan. Dan sepertinya kamu bukan. Tapi apapun itu, terimakasih karena pernah mau menjadi pendengarku.

Dadidudedo eniwei.