Minggu, 18 September 2011

jleb!



This is one of my artwork.
While my mouth can’t tell what i feel in kind of words, yet my hands can spell it into scratch.

rusuh, rusuh, rusuh!

Begini ya, apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar atau membaca kata rusuh?
Ramai? berantakan? Gaya baru malam? darah? bising? FPI? teriak? yaya. Apapun itu, masing-masing dari kita punya hak untuk mendefinisikan arti rusuh. Puji Tuhan.

Rusuh itu menyenangkan. Kenapa begitu? Loh tadi saya kan sudah bilang, masing-masing kita punya hak untuk mendefinisikan itu. Pun saya. Apalagi ini blog saya, jadi saya punya hak penuh untuk menulis apa saja yang mau saya katakan. Saya adalah tuhan atas blog saya.

Tadi saya bilang apa? Rusuh itu sesak ya? Ohh. Kalau yang ‘rusuh itu menyenangkan’ itu definisi rusuh yang saya buat dua hari yang lalu. Karena tulisan ini saya buat selama 3 hari 3 malam maka definisi rusuh dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan lebih dulu. Maklum, saya bukan penulis sekelas Orhan Pamuk yang bisa menulis DUA NOVEL dalam setahun. Bahkan untuk membuat tulisan absurd seperti ini saja saya butuh 7 minggu persiapan mental, 15 hari pemikiran ide dan materi, dan 13 hari persiapan sesajen. Jadi jangan heran kalau saya jarang update blog. Toh, Dewi Dee juga baru bisa menyelesaikan filosofi kopinya setelah 10 tahun?hehehe. Oke, daripada saya  ditabok voucher carrefour sejuta dan keburu lupa apa yang mau saya tulis jadi mending kita back to the track.

Rusuh. R-U-S-U-H jika dieja. Belakangan ini saya suka sekali dengan kata ini. Seperti kesukaan saya pada bakso, Rama kepada Sinta, dan SM*SH blast pada boyband SM*SH. Pada awalnya saya bertanya ke satpam kampus, kenapa si rusuh sering menghantui saya belakangan ini. Namun karena sang satpam bingung mengapa saya bertanya demikian akhirnya saya memupuskan niat saya untuk bertanya hal itu lagi ke satpam kampus lain. Lagipula tidak semua hal perlu penjelasan, bukan? Tapi penjelasan diperlukan untuk membuat sesuatu menjadi jelas. Namanya juga penjelasan, perbuatan untuk memperjelas sesuatu. Nah, saya mulai rusuh dengan kata-kata saya. Di awal saya mengatakan tidak semua hal perlu penjelasan tapi belakangan malah menuntut penjelasan itu bekerja sesuai artinya. Lagipula kenapa saya jadi bahas penjelasan padahal dari awal saya sudah tentukan si rusuh menjadi tema tulisan ini? Well, karena hal itu kamu boleh panggil saya si labil. Terlebih jika kamu tahu definisi rusuh bagi saya hari ini jam 10.35 pagi dan rusuh hari ini jam 11.45 malam, kamu tentu akan menjuluki saya si ratu labil dari goa hantu. Eh, tapi kamu beneran mau tahu rusuh versi saya? Oke baiklah, berhubung saya lagi mendengarkan alright (we are young) -nya Supergrass yang bikin mood saya membaik, karena itu saya berbaik hati menuliskan definisi itu buat kamu.

Jadi katakan saja begini, jika kamu adalah pengikut dan pecinta band rock alternative kenamaan sekelas Linkin Park, apa yang kamu pikirkan ketika tahu mereka akan tampil tanggal 28 ini? Tentu sebisa mungkin kamu berusaha datang ke konser dan menikmati aksi panggung mereka, bagaimana pun caranya. Dari cara halal terhormat sampai tolol murahan kamu lakukan. Dari menyisir area tiketing – kali aja ada tiket yang jatoh-, pedekate sama anaknya promotor konser sampai mohon-mohon jadi seksi bersih-bersih di istora. Namun ketika semua usaha telah dilakukan itu tidak membuahkan hasil dan kamu merasa lebih baik mengakhiri hidup atau operasi plastik, tiba-tiba Helmi Yahya dengan jubah hitam dan tongkat di tangan datang menngahampiri dan memberikanmu tiket konser gratis plus fasilitas antar jemput dengan Alphard jam berapa pun kamu mau dan paket creambath seumur hidup di Jhony Andrean salon. Apa yang kamu rasakan? No coment? Speechless? Yaa, jadi begitulah definisi rusuh saya hari ini jam 10.35 pagi.

Ketika hari menonton konser (gratis) yang dinanti-nanti tiba, kamu yang dengan kece-nya berdandan ala Chester – walaupun setelah dilihat-lihat jadi lebih mirip Ian Kasela- dan dengan bekal contekan lirik crawling dan in the end di kantong, telah siap siaga 1 pergi ke konser. Kamu yang saat itu merasa menjadi satu-satunya orang paling beruntung seJawa, senang tak terkira tiada tara. Sampai tiba-tiba Uya Kuya muncul dari balik keset welcome yang kamu pasang di depan pintu dan mengejutkanmu dengan membawa segambreng kru dan dengan riang gembira berkata “KENAAA DEH!”

Jleb!

Ternyata ini cuma bagian dari program pertunjukan kenyataan atau bahasa bekennya ‘reality show’ yang dibuat oleh bos program itu. Lalu kamu mau apa? Pergi ke hutan dan berteriak? Lari ke pantai kemudian menangis? Selain jauh dan boros di ongkos, kamu cuma akan mengganggu Cinta yang sudah lebih dulu ke sana. Kalau saya mending makan bakso dengan dua sendok sambel ditambah cuka sambil bilang bahwa ‘reality show’ tadi adalah definisi rusuh saya hari ini jam 11.45 malam. Seperti yang telah saya bilang sebelumnya bahwa definisi rusuh versi saya dapat berubah sewaktu-waktu. Saya belum tahu rusuh jenis apa lagi yang bisa saya definisikan besok. 

Ini rusuh versi saya. Bagaimana rusuh versi kamu?

Kamis, 08 September 2011

NO CORO, NO CRY!


Apakah telur itu? Bagaimana cara makan kepiting yang baik dan benar? Kenapa jembatan suramadu dibuat? Kapan pemilik warung dekat rumah saya pulang mudik? Dan mungkin masih banyak pertanyaan blableblo lainnya yang sering muncul di pikiran kita. Kalau saja saya anak filsafat, mungkin sederet pertanyaan yang saya jadikan opening statement tulisan ini akan lebih ‘berbobot’. Lebih filosofis, bahasa kerennya. Tapi yasudah lah. Saya terlalu malas untuk mengarahkan panah kursor dan menghapus opening statement itu. ‘Yang tertulis biarlah tertulis’ kata Julius Caesar. Toh kalaupun kalimat itu diganti dengan kalimat pertanyaan yang lebih keren ala filsafat, tidak akan mengurangi tingkat ke-random-an tulisan ini. Jadi, kalau kamu memutuskan untuk berhenti membaca dan menutup halaman blog ini, sekarang adalah waktu yang tepat.

Tetep mau baca? Oke lanjut!

Jadi sebenarnya, saya tidak tahu apa yang mau saya bahas di tulisan ini. Itulah kenapa lagu ‘mau dibawa kemana’nya armada tercipta. Salah juga kalau kamu tebak saya akan bahas anak filsafat atau cara makan kepiting atau anak filsafat yang makan kepiting. Tentu saya tidak senaif itu. Hermin Pujiastuti pernah berkata bahwa jangan pernah kamu percaya orang terlalu dalam kalau belum kenal betul siapa dia. In this case, janganlah kamu menilai saya dengan cuma membaca tulisan saya ini. Gak nyambung ya? Biarin. Oya by the way, tahu kan Hermin Pujiastuti itu siapa? Gak tau?? Wajar sih. Wong beliau itu ibu saya. Wanita hebat yang gak sengaja memuntahkan anak pelupa yang kerjaannya makan mulu tapi gak gede-gede dan fobia kecoa. Ya, itu saya!
Eh? tadi saya bilang apa? fobia kecoa ya? Kayaknya seru juga bahas musuh bebuyutan saya itu. Jadi, apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar atau membayangkan serangga coklat mengkilat itu? Takut? Jijik? Geli? Gak banget? Kalau begitu tos dulu kita! *cari temen* Kalau teringat serangga aneh yang tidak bisa berkutik kalau sudah terlentang ini bikin saya mules dan inget cepat-cepat ke kutub.

Loh? Kenapa kutub?

Siapa yang tanya itu barusan? Kalau mau tanya-tanya lagi, tolong hubungi manajer saya dulu karena nyeletuk dan memotong kata-kata orang yang sedang asik nulis itu adalah gak sopan. Tapi berhubung euforia lebaran masih terasa, jadi okelah saya maafkan. Jangan diulangi ya.

Jadi begini, setelah berkeliling dunia dan melakukan penelitian kecil tentang kecoa, saya menemukan fakta bahwa kecoa itu tersebar di seluruh belahan dunia kecuali di kutub. Itulah kenapa,tiba-tiba saya ingin sekali tinggal di kutub. Yang saya belum tahu adalah bagaimana kecoa-kecoa itu sampai menyebar dan begitu eksisnya atau jangan-jangan mereka punya organisasi kecoa internasional semacam organisasi yang mempunyai visi menjaga stabilitas dan perdamaian seluruh kecoa di seluruh dunia baik kecoa yatim maupun maupun tidak. Who knows?

Oya, saya jadi ingat pertanyaan ini pun pernah muncul sebelumnya oleh seorang pemikir. Ya, saya. Kenapa saya menyebut diri saya adalah seorang pemikir? Karena memang pertanyaan tersebut muncul ketika saya sedang berpikir keras -- lebih tepatnya saya bilang frustasi-- menjawab pertanyaan ujian semester statistik sosial (which is mata kuliah yang saya bingung kenapa musti diwajibkan). Kemudian muncul pertanyaan kritis lain: mengapa harus ada mahluk mengerikan seperti kecoa di dunia ini? Saya pikir, kalaupun kecoa ditiadakan keberadaannya dari planet ini, tidak akan mempengaruhi stabilitas rantai makanan mahluk-mahluk lainnya, bukan? Akan beda cerita kalau kecoa itu bentuknya kotak 2 pintu ukuran 2 meter x 2 meter, cocok untuk taruh baju-baju. Atau berbentuk kotak pipih dengan isi perut operational system-nya yang android, cocok untuk browsing internet atau sekedar mendengarkan Clinically dead for 16hours-nya The Camerawalls. Atau mungkin bisa juga berbentuk kotak persegi panjang tipis pipih berwarna pink, menyerupai uang seratus ribu? Boleh juga. Ah!tapi sayang, itu cuma di pikiran saya saja. Pikiran orang yang (saat itu) frustasi karena susah mengingat rumus menyusun sederet angka di lembar soal dengan metode SPSS, software paling ajaib yang (tidak akan) pernah saya gunakan (lagi, semoga!). Namun, di luar sana kecoa tetaplah kecoa. Tetap coklat. Tetap mengkilat. Tetap bisa terbang. Dan tetap menghantui saya dimana pun saya berada. Waspadalah!