Rabu, 09 Februari 2011

belajar dari Pak Ben

saya cuma mau posting ulang tentang another inspirational story of disabled person. salah satu informan yang sempat saya wawancarai waktu saya 'ngebabu' di Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI.
*pesan: untuk lebih membuat anda nyaman saat membaca ini, sebaiknya siapkan dulu bantal untuk senderan, kipas angin (atau AC kalo ada), dan uang receh. selamat membaca! :)

Menempati rumah impian yang indah, asri, dan sejuk bukan lagi menjadi angan-angan bagi Pak Benjamin. Ya, rumah indah nan asri yang terletak di Agung Melati Residence Kav. 4 itu merupakan rumah yang dibeli dengan hasil jerih payah Pak Ben, begitu panggilannya, dari pekerjaannya sebagai pelukis. Bagi sebagian orang, melukis merupakan pekerjaan yang cukup mudah dilakukan dengan hanya mencorat-coret kanvas dengan kedua tangan, jadilah sebuah lukisan. Namun, tidak untuk Pak Ben! Beliau adalah seorang pelukis mulut. Ya, melukis tidak dengan menggunakan kedua tangannya melainkan dengan mulutnya. Ia adalah seorang tunadaksa (orang dengan cacat tangan dan kaki).

Keterbatasan (cacat) yang dialaminya berawal saat Pak Ben berusia 2 tahun. Saat itu Pak Ben diasuh oleh neneknya karena orangtuanya bekerja di Singapura. Neneknya merawat Pak Ben dengan penuh kasih sayang. Namun, pada suatu hari Pak Ben menderita penyakit demam tinggi. Karena khawatir, sang nenek langsung membawa Pak Ben ke dokter. Setelah pergi ke dokter, Pak Ben pun diberikan obat dengan harapan agar penyakit demamnya dapat teratasi. Malangnya, semenjak kejadian itu, penyakit Pak Ben bukannya sembuh malah mengakibatkan Pak Ben lemas. Dari hari ke hari, Pak Ben bukan semakin lincah (seperti layaknya anak kecil apada umunya) akan tetapi menjadi semakin tidak berdaya. Kedua kakinya tidak dapat digunakan untuk berjalan, otot-otot tangannya pun menjadi sangat lemah. Semenjak itulah Pak Ben menjadi lumpuh (tunadaksa). Saat itu, neneknya terus mengasuhnya. Akan tetapi, saat Pak Ben berumur 10 tahun, neneknya sakit karena usianya yang memang sudah sangat renta. Oleh sebab itu, orang tua Pak Ben yang berada di Singapura memutuskan membawa Pak Ben ke Singapura juga. Di sana, Pak Ben ’dititipkan’ di sebuah yayasan (sekolah). Di yayasan itu, Pak Ben diajarkan berbagai macam mata pelajaran seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Akan tetapi, selama di kelas, bukannya memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan pelajaran, Pak Ben malah menggambar. Begitu terus hampir setiap hari. Dari situlah kemudian ia mengetahui bahwa dirinya sangat gemar menggambar. Pada usia 12 tahun Pak Ben mulai belajar melukis dengan menggunakan cat air di kertas. Setelah hampir setiap hari ia melakukan hal tersebut, Pak Ben mulai beralih dengan belajar melukis menggunakan cat minyak di usia 20 tahun. Semuanya itu ia lakukan secara otodidak, tidak ada guru lukis khusus yang mengajarinya. Selain gemar melukis, saat di yayasan, Pak Ben juga tergabung dalam sebuah band musik yang semua personilnya merupakan orang yang mempunyai keterbatasan (cacat). Pada band itu, Pak Ben berperan sebagai pemain keyboard. Ia memainkan keyboard dengan mulutnya karena kedua tangannya sudah tidak berfungsi lagi. Grup bandnya ini juga biasa tampil saat ada acara-acara yang diadakan di yayasan tempatnya menempuh ilmu ini.

Dalam hal melukis, Pak Ben ingin sekali mengembangkan dan membuat kegemarannya ini menjadi sesuatu yang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Setelah mendapat informasi dari berbagai pihak, akhirnya Pak Ben mengetahui bakatnya akan disalurkan kemana. Adalah Vereinigung der Mund-und Fussmalenden Kunstler in aller welt (VDMFK) yang merupakan perkumpulan/asosiasi pelukis dengan mulut dan kaki yang berpusat di Swiss. Untuk dapat bergabung dengan perkumpulan itu, Pak Bharus menjalani tes terlebih dahulu. Pertama-tama, Pak Ben diharuskan membuat tiga buah lukisan yang kemudian dinilai apakah hasil karya Pak Ben dapat masuk dalam VDMFK. Lukisan-lukisan yang dibuat oleh Pak Ben lebih bertemakan pemandangan dan hewan-hewan. Dari hasil tes tersebut, ternyata hasil lukisan Pak Ben dapat diterima oleh VDMFK dan hingga saat ini pun Pak Ben masih tergabung dalam asosiasi itu dan selalu mengirimkan hasil karya ke Swiss (VDMFK) sebelum akhirnya dipamerkan dalam pameran lukisan. Lukisan-lukisan yang dikirim ke VDMFK itu kemudian dijadikan kartu-kartu ucapan, kalender, dan lain-lain yang akan dijual ke masyarakat. Dan dari hasil penjualan tersebutlah Pak Ben mendapatkan royalti (bayaran) atas semua hasil lukisan yang dikirimkannya.

Selain tergabung dalam VDMFK yang berpusat di Swiss, Pak Ben juga tergabung dalam Asossiation of Mouth and Foot Artist (AMFA) yang berkantor di Jakarta. Dari kegemarannya melukis ini, Pak Ben meraih tekadnya, yaitu tidak menjadi orang yang hanya bergantung pada orang lain. Berbagai penghargaan telah diraih oleh Pak Ben. Hal ini dapat terlihat dari beberapa tropi yang dipajang di meja yang diletakkan di sudut ruang tamu rumahnya.

Di sisi lain, kehidupan keluarga Pak Ben bisa dikatakan tidak semulus karirnya sebagai seorang pelukis. Pada tahun 2000, setelah menyelesaikan studinya di yayasan di Singapura, Pak Ben kembali ke Indonesia. Di Indonesia Pak Ben diasuh dan tinggal bersama adiknya. Namun, tak lama kemudian, adiknya menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Begitupun dengan kakak kandungnya. Oleh sebab itu, Pak Ben juga memimpikan mempunyai seorang istri dan keluarga. Di tahun yang sama, Pak Ben akhirnya menemukan wanita yang akhirnya dinikahinya. Supina, begitulah panggilannya, merupakan wanita yang dinikahinya. Saat itu, ia tinggal di Surabaya. Dengan istrinya ini, Pak Ben dikaruniai dua orang anak. Kehidupannya bahagia ketika itu. Namun, setelah beberapa tahun menikah (tepatnya 6 tahun) ada suatu masalah besar yang dihadapi oleh Pak Ben dan Ibu Supina dan akhirnya mengharuskan mereka menyelesaikannya di meja hijau. Setelah kejadian itu, Pak Ben resmi bercerai dengan Ibu Supina dan hak asuh kedua anaknya jatuh ke tangan ibunya dengan pertimbangan kedua anknya masih di bawah umur dan membuthkan perhatian ibunya. Karena masalah itulah, Pak Ben sempat vacum dari pekerjaannya (melukisnya). Menurutnya, melukis membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan saat itu kondisinya benar-benar tidak kondusif untuk Pak Ben menghasilkan lukisan.

Setelah beberapa lama shock dengan kejadian tersebut, akhirnya Pak Ben menemukan wanita  pengganti istrinya yang pertama (Supani). Ibu Lia, begitulah ia biasa dipanggil. Wanita yang ditemuinya disebuah kantor salah satu provider telepon seluler ini dinikahinya setahun lalu, yaitu pada tahun 2007. dengan istriny yang sekarang, Pak Ben belum dikaruniai anak. Akan tetapi, sejak menikah dengan Ibu Lia ini, Pak Ben mengangkat dua anak (anak asuh) yang berasal dari keluarga tidak mampu. Anknya yang pertama sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan anak asuhnya yang kedua masih bersekolah di Taman Kanak-kanak. Anak aushnya yang pertama saat ini tinggal bersamanya tetapi anak asuhnya yang kedua tidak tinggal bersamanya melainkan bersama nenek dari anak asuhnya sendiri. Pak Ben membiayai seluruh biaya hidup (mulai dari pendidikan, kebutuhan sehari-hari, dll) kedua anak asuhnya itu. Menurut Ibu Lia (istrinya sekarang) Pak Ben adalah orang yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Hal ini dapat terlihat dari kegiatan rutin yang diadakan berdasarkan kemauan Pak Ben untuk mengundang para janda dan anak-anak tidak mampu untuk mengaji di rumahnya dan memberikan mereka sedekah. Kegiatan itu dilakukannya hampir setiap bulan. Kegiatan ini dilakukan oleh Pak Ben berdasarkan niat dan seperti apa yang ia pelajari dalam agamanya bahwa 2,5% dari penghasilannya harus disalurkan atau diberikan kepada kaum duafa.

Sampai saat ini, selain mencurahkan hidupnya dalam dunia seni melukis, Pak Ben juga sering diundang ke yayasan orang-orang dengan keterbatasan (seperti YPAC) tuk memberikan semangat kepada orang-orang, khususnya generasi muda untuk terus mengejar cita-citanya dan jangan pernah menyerah dengan keadaan. Baru-baru ini saja (Rabu, 5 Nvember 2008) Pak Ben diundang untuk mendemonstrasikan cara-caranya melukis pada anak-anak yang ada di YPAC. Pada kesempatan yang sama, Pak en juga memberikan spirit (semangat) kepada anak-anak YPAC untuk terus berusaha dan jangan menyerah dalam meraih cita-cita. Pak Ben juga ingin menunjukkan bahwa kecacatan (keterbatasan) yang dimiliki oleh sebagian orang bukanlah suatu hambatan untuk mereka memperoleh impian mereka. Malah sebaliknya, harusnya kita (orang-orang dengan keterbatasan) mampu menunjukkan pada masyarakat bahwa kita bukanlah orang hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain saja (tidak mandiri).

0 comments:

Posting Komentar