Senin, 07 Februari 2011

Keterbatasan bukanlah suatu hambatan!


“Aku ingin jadi seorang arsitek dan bisa membangun gedung-gedung bertingkat!” Sebagian besar anak kecil mungkin akan menjawab seperti itu ketika ditanya tentang cita-cita mereka setelah besar nanti. Dan profesi itulah yang akan disandang oleh Meutia Rin Diani setelah ia menyelesaikan studinya di jurusan arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Arsitektur menjadi jurusan yang dirasa cocok terlebih karena gadis yang akrab dipanggil Meutia ini, sangat suka melukis. Ditambah lagi ia sangat ‘jago’ mengerjakan soal-soal yang bersifat hitungan membuat ia semakin yakin bahwa arsitektur merupakan jurusan yang pas untuknya. Namun, di samping itu semua, ada yang membuatnya berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia memiliki keterbatasan dalam hal pendengaran. Ya, ia adalah seorang tunarungu. Akan tetapi dengan perbedaan itu, tidak malah membuat gadis kelahiran 22 tahun lalu  ini menjadi putus asa melainkan menjadikannya seorang yang lebih istimewa dibanding dengan orang-orang sekelilingnya.

Cita-citanya untuk dapat terus belajar dan bersekolah ini tentu tidak terlepas dari dukungan sang ibu yang sangat dikagumi dan dicintainya. Ibu Peni, begitulah panggilannya, memang ibu yang sangat hebat. Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan ia terus mengajarkan Meutia tentang banyak hal. Saat Meutia masih berumur 7 bulan, Ibu Peni sudah mulai curiga dengan sikap anaknya yang kurang responsif jika mendengar bunyi dan suara. Karena hal tersebut, kemudian ia memutuskan untuk membawa dan memeriksakan kondisi anaknya ke ahli THT. Setelah diperiksa, ternyata dugaannya selama ini benar. Anaknya memiliki kelainan pada syaraf pendengaran dan divonis tidak dapat mendengar. Vonis dokter yang menyebutkan bahwa anaknya adalah seorang tunarungu, tidak membuatnya kecewa dan putus asa. Ketika itu, ia malah langsung berpikir bahwa ia harus segera mendaftarkan anaknya di sekolah luar biasa sehingga anaknya tetap bisa berkomunikasi dengan orang lain dan dapat belajar.

Pada saat Meutia berusia 3 tahun, ia mulai didaftarkan oleh ibunya di Sekolah Luar Biasa (SLB) Santirama, Salemba. Di sana Meutia belajar mengenal kosa kata dengan gambar dan tulisan-tulisan. Selain mendapat pelajaran dari SLB, di rumahnya, ibu Peni juga mengajarkan Meutia untuk mengenal dan menghapal kosakata dan benda dengan cara menempelkan tulisan nama benda pada benda yang sesuai,misalnya pada lemari ditempelkan tulisan ”lemari”. Ini membuat Meutia semakin mudah menghapal dan menegtahui banyak kosakata. Hampir setiap hari ibunya mengajak Meutia bermain dengan berbagai permainan edukasi yang bertujuan untuk melatih daya ingat dan memperkenalkan berbagai kosakata padanya. Bahkan ibunya sampai membuat kliping yang berisi gambar dan kata agar Meutia dapat lebih mudah mempelajari dan menghapal berbagai kosakata. Setelah sekitar satu tahun bersekolah di SLB Santirama, tibalah waktu kenaikan kelas. Namun, begitu mengejutkan ketika diketahui bahwa Meutia dinyatakan tidak dapat naik kelas karena gurunya menilai bahwa Meutia adalah anak yang sangat pasif ketika di kelas. Akan tetapi keputusan itu tidak begitu saja diterima oleh Ibu Peni. Menurutnya, anaknya pintar dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan bahkan dapat menghapal kosakata dengan cepat. Akhirnya Ibu Peni meminta pihak SLB untuk melakukan tes pada Meutia untuk mengetahui dan mengukur pengetahuan Meutia. Pada tes itu, ternyata Meutia dapat menjawab pertanyaan gurunya dengan baik dan benar sehingga membuat guru Meutia berubah pikiran dan memutuskan bahwa Meutia dapat naik kelas. Di sisi lain, Ibu Peni penasaran mengapa Meutia bersikap pasif ketika di kelas. Padahal sehari-harinya di rumah, Meutia merupakan anak yang lincah dan aktif. Setelah ditanyakan kembali pada Meutia, diketahui bahwa ternyata Meutia merasa bosan dengan pelajaran yang diajarkan di SLB. Menurutnya, pelajaran yang diajarkan tidak berkembang. Karena alasan itulah, Ibu Peni memutuskan untuk mencarikan sekolah yang lebih baik untuk Meutia. Akhirnya Meutia didaftarkan di Sekolah Mini Pak Kasur dengan pertimbangan sekolah itu terkenal bagus. Namun, Meutia tidak begitu saja meninggalkan sekolah TK SLBnya melainkan menjalani kedua sekolah tersebut. Menurut keterangan ibunya, Meutia menjalani kedua sekolahnya itu dengan penuh tanggung jawab. Sepulang sekolah, Meutia selalu mengerjakan tugas (pekerjaan rumah) yang diberikan baik dari TK SLB maupun TK Mini Pak Kasur. Di TK Mini Pak Kasur Meutia mengalami perkembangan intelegensi tetapi tidak dalam kehidupan sosialnya. Karena kendala komunikasi, Meutia tidak memiliki banyak teman. Awalnya teman-temannya merasa kesal dengan keterbatasan Meutia tetapi lama-kelamaan mereka akhirnya mengerti mengenai kondisi Meutia.

Setelah menyelesaikan sekolah taman kanak-kanaknya, Meutia didaftarkan di SD Mutiara Indonesia. Sebelum masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ini, setiap anak harus menjalani tes IQ. Sama seperti tes IQ yang pernah djalaninya saat TK, IQ Meutia selalu berada di atas rata-rata (superior). Selama mengenyam pendidikan di SD milik Kak Seto ini, Meutia selalu meraih juara kelas. Prestasi Meutia sangat menonjol di mata pelajaran matematika dan menggambar. Dalam mata pelajaran matematika, Meutia hampir tidak mendapat nilai jelek. Bahkan ia sering mendapat nilai 10 untuk mata pelajaran yang bagi sebagian anak dikatakan sulit ini. Sedangkan untuk keahliannya di bidang menggambar, Meutia sangat sering diikutsertakan pada setiap perlombaan menggambar dan selalu menang. Seiring dengan perkembangan pengetahuannya, ketika umurnya 10 tahun, Meutia menyadari ada perbedaan antara dirinya dengan orang-orang sekitarnya, khususnya temen-temannya. Ia mulai sadar bahwa dirinya adalah seorang tunarungu. Mengetahui hal tersebut, Ibu Peni sangat terkejut namun di sisi lain ia juga merasa senang karena akhirnya anaknya menyadari kondisinya yang sebenarnya. Saat itu ibunya langsung memberitahukan pada Meutia bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang patut disesali. Sebaliknya, dengan kondisi Meutia yang seperti itu, harusnya ia bangga karena ia mampu menjalani hidup seperti orang lain yan normal bahkan bisa mendapatkan berbagai prestasi yang tidak bisa didapat oleh teman-temannya yang lain.

Lulus dari pendidikan sekolah dasarnya, Meutia kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Kalimalang (sekolah swasta umum). Ibunya selalu menyekolahkan Meutia di seolah swasta dengan pertimbangan bahwa sekolah swasta dinilai lebih disiplin dan selalu memperhatikan kondisi masing-masing anak didiknya (mengingat jumlah siswa di sekolah swasta lebih sedikit sehingga guru-guru dapat lebih fokus memperhatikan kondisi setiap siswanya). Prestasi yang diraih Meutia tidak berbeda jauh ketika ia bersekolah di SD. Di sekolahnya ini, Meutia juga selalu menjadi juara kelas. Puncaknya adalah saat Meutia kelas 3. Pada saat itu, Meutia selalu mendapatkan nilai yang bagus. Nilai ujian akhirnya pun sangat memuaskan.

Lulus dengan hasil yang memuaskan, membuat Ibu Peni semakin bangga dengan anaknya. Kemudian ia memutuskan untuk mendaftarkan Meutia di SMU Marsudirini. Namun, alangkah terkejut Ibu Peni ketika ternyata, sekolah swasta yang terkenal sangat bagus dan berkualitas ini, tidak menerima anaknya dengan pertimbangan bahwa ditakutkan Meutia tidak dapat mengikuti pelajaran dengan lancer dengan keterbatasan yang dialaminya. Tanpa berpikir panjang, Ibu yang juga berprofesi sebagai dosen dan Kepala Jurusan Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini, memutuskan untuk segera mendaftarkan Meutia di SMU Al-Azhar. Di SMU tersebutlah akhirnya Meutia dapat menempuh jenjang pendidikan menengah atasnya. Kehidupan sehari-harinya di sekolahnya yang baru ini juga tidak berbeda jauh dengan kehidupannya di sekolah-sekolah sebelumnya. Walaupun Meutia hanya memiliki sedikit teman karena masalah komunikasi, hal ini tidak membuat dirinya berputus asa untuk terus berprestasi. Hambatan besar yang dialami oleh meutia dan ibunya adalah ketika menjelang ujian akhir nasional (UAN) tingkat SMA.  Ibunya mengetahui bahwa salah satu mata pelajaran yang diujiankan, yaitu Bahasa Inggris, terdapat bagian soal yang diujikan dengan cara listening. Hal tersebut cukup membuat Ibu Peni ‘kewalahan’. Pasalnya Meutia tidak mungkin dapat mengerjakan soal listening tersebut. Oleh sebab itu, Ibu Peni berusaha membicarakan masalah itu kepada kepala sekolah SMA Al-Azhar dengan harapan beliau (kepala sekolah) dapat menemukan pemecahan masalahnya. Setelah beberapa kali embicarakan hal itu, akhirnya sang kepala sekolah merundingkan hal tersebut juga dengan guru dan tim panitia ujian nasional. Dengan usaha yang panjang dan melelahkan (sampai mengharuskan Ibu Peni mengurus hal itu ke Diknas), akhirnya diputuskan Meutia dapat mengikuti ujian listening Bahasa Inggris dengan tim panitia ujian nasional khusus yang bertugas membacakan soal listening Bahasa Inggris untuk Meutia. Selain menyelesaikan masalah tersebut, Ibu Peni juga harus memikirkan bagaimana cara Meutia belajar Bahasa Inggris. Akhirnya, beliau memutuskan untuk memanggil guru les privat Bahasa Inggris untuk Meutia. Usaha lain yang dilakukan ibu yang memiliki nama panjang Kushari Supeni ini, adalah dengan membacakan buku-buku bacaan berbahasa Inggris tingkat SMA dan merekamnya dengan tujuan Meutia dapat melihat gerakan bibir ibunya dan dapat membantunya dalam belajar Bahasa Inggris. Selain itu, untuk menunjang proses keberhasilan Meutia dalam menghadapi UAN nanti, Ibu Peni juga memanggil guru les matematika, Bahasa Indonesia, dan Fisika. Guru les itu hanya bertugas untuk mendampingi Meutia saat belajar (tidak untuk mengerjakan tugas Meutia) dan sesekali mengajarkan Meutia saat ia mengalami kesulitan. Seluruh kerja keras dan jerih payah Ibu Peni dan Meutia sendiri berbuah kesenangan. Akhirnya, pada hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari pengumuman kelulusan ujian nasional, nama Meutia terpampang sebagai salah satu siswa yang lulus ujian! Bahkan hasil ujian yang diperoleh oleh Meutia bisa dibilang sangat membanggakan. Bagaimana tidak, Meutia mendapatkan nilai sempurna pada mata pelajaran matematika. Ya! Nilai 10 diperolehnya untuk mata pelajaran yang sangat digemarinya sejak kecil ini.

Namun, perjuangan Meutia tidak hanya berhenti sampai sini saja. Ia bertekad untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Selepas perjuangannya untuk dapat lulus ujian nasional, Meutia masih harus berjuang untuk meraih cita-citanya untuk dapat berkuliah. Ibu Peni tentu sangat mendukung impian anaknya ini. Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, beliau terus mendampingi dan mengarahkn Meutia untuk dapat memilih dan menentukan jurusan mana yang sesuai dengan minat dan bakat anak yang sangat disayanginya ini. Menurutnya, berdasarkan keahlian anaknya dalam mata pelajaran yang bersifat hitungan (eksak) ditambah kegemaran Meutia dalam menggambar, akhirnya Meutia diarahkan untuk memilih jurusan Teknik Arsitektur. Meutia pun menyetujuinya. Lagi, untuk dapat mencapai impiannya  Meutia harus berusaha lebih giat. Ia terus belajar dan belajar untuk dapat  lolos SPMB dengan jurusan yang diinginkannya. Perjuangannya itu tidak lupa juga diiringi dengan doa yang ia panjatkan dalam setiap sholatnya. Di lain pihak, Ibu Peni tetap mendaftarkan Meutia di universitas swasta (Universitas Trisakti) dengan jurusan yang sama untuk ‘jaga-jaga’. Dan tbalah hari yan dinanti, yaitu malam pengumuman kelulusan SPMB, Meutia membuka situs pengumuman SPMB lewat komputer yang ada di kamarnya. Begitu gembiralah ia ketika teryata namanya dinyatakan lulus dan terdaftar menjadi mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Indonesia!

Kehidupan social yang dijalani oleh Meutia di tempat belajar barunya ini cukup berbeda dengan sekolah-sekolah sebelumnya. Di sini Meutia memiliki cukup banyak teman (ketimbang ketika di SMP atau di SMAnya dulu). Teman-temannya baik dan sangat membantu Meutia dalam perkuliahannya. Dosen-dosennya pun cukup perhatian dan mengerti kondisi Meutia. Hal ini terbukti dengan adanya inisiatif dosen untuk memerintahkan mahasiswanya yang lain (yang sekelas dengan Meutia) untuk mencatat berbagai hal yang dijelaskan oleh dosen selama di kelas (mejadi notulen untuk Meutia). Dengan begitu diharapkan Meutia dapat lebih terbantu dan tidak mengalami kesulitan dalam belajar di perkuliahan ini. Akan tetapi Meutia juga tak begitu saja bergantun apada orang lain. Ia tetap harus belajar sendiri dengan giat agar memperoleh hasil yang baik dan cita-citanya dapat tercapai. Usahanya ini pun membuahkan hasil. Terbukti dari hasil Indeks Prestasi (IP) yang diperolehnya pada semester lalu, Meutia mendapatkan nilai sempurna! Ya! Meutia mendapatkan IP 4!Dengan perhatian dan kasih sayang (tentunya tak lepas dari semangat dan cinta sang ibu)  dari orang-orang sekitarnya, akhirnya sekarang Meutia dapat terus menjalankan studinya demi mewujudkan impiannya yaitu menjadi seorang arsitektur yang dapat membangun rumah-rumah bagi orang-orang miskin.

*salah satu tulisan yang dimuat dalam buku inspirational story of disabled people, Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI

3 comments:

Unknown mengatakan...

Salut utk ibu Peni n Meutia, sekarang Meutia satu kantor dg saya, memang hebat

Orgazinational Provocator mengatakan...

Inspiring Real Life.... Gambatte Kudasai..

Orgazinational Provocator mengatakan...

Keterbatasan yang Berusaha Dihadapi dengan Usaha...
Salut sekali dengan Ibu Peni...

Posting Komentar